Minggu, 14 Agustus 2016

METODE BERFIKIR DALAM ILMU KALAM


Pembahasan atau pembuktian terhadap setiap hal yang tercakup dalam ilmu kalam dilakukan dengan metode atau tatacara tertentu. Di mana tatacara ini sering disebut sebagai metode berfikir atau langkah-langkah yang ditempuh dalam memperoleh suatu kebenaran. Adapun berbagai metode berpikir yang terdapat dalam ilmu kalam ini dapat diketahui dari pemahaman-pemahaman aliran kalam, seperti aliran Muktazilah, Asyariyah dan Salaf. Di antara metode berpikir yang digunakan oleh aliran ini dapat diketahui sebagai berikut:

Metode berpikir aliran Muktazilah
Muktazilah merupakan salah satu aliran kalam yang sangat berperan dalam perkembangan berbagai pemikiran keislaman. Aliran ini didirikan oleh Wasil bin Atak. Adapun persoalan-persoalan kalam yang dibahas dalam aliran ini lebih mendalam dari pada persoalan yang dibahas dalam aliran Khawarij dan Murjiah. Di mana dalam membahas setiap persoalan kalam lebih banyak memakai akal, sehingga aliran ini dikenal sebagai aliran kaum rasionalis Islam.
Metode berpikir aliran Muktazilah dalam persoalan ilmu kalam berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah kalam yang tidak dapat diketahui selain dengan dalil teks. Menurut penjelasan Imam Muhammad Abu Zahra, Muktazilah dikategorikan sebagai para filosof Islam yang sebenarnya. Mereka mempelajari akidah Islam dengan pendekatan rasional, terikat dengan hakikat-hakikat keislaman dan tidak lepas dari nuansa keislaman. Mereka memahami ayat-ayat al-Quran dalam bidang akidah secara filosofis, tetapi tidak melepaskan diri dari syarak. Kemudian, aliran Muktazilah ini juga melaksanakan kewajiban untuk memerintahkan perbuatan baik dan mencegah perbuatan mungkar. Serta memiliki pemikiran yang aneh-aneh, tetapi tetap berada dalam naungan al-Quran dan Hadis.[1]
Sesuai dengan metode berpikir yang digunakan, maka Imam Muhammad Abu Zahra menyatakan bahwa aliran Muktazilah berkeyakinan bahwa Allah tidak serupa dengan suatu apapun, sehingga Allah mustahil dapat dilihat pada hari kiamat. Kemudian, sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang lain dari dzat-Nya sendiri. Jika tidak demikian, maka sifat kadim Allah menjadi terbilang. Atas dasar tauhid ini, maka aliran Muktazilah juga menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk Allah, dengan tujuan untuk mencegah berbilngnya yang kadim dan menafikan sifat berkata-kata dari Allah.[2]

Metode berpikir aliran Asyariyah
Asyariyah merupakan salah satu aliran kalam yang muncul untuk merespon dan membantah berbagai pemahaman aliran sebelumnya, yaitu Muktazilah. Aliran Asyariyah ini muncul dari pemahaman Abu al-Hasan al-Asyari, yang awalnya juga seorang Muktazilah. Berlandaskan sebagai penganut paham Muktazilah, maka Asyari mampu untuk membantah setiap paham Muktazilah, serta menggantinya dengan pemahaman baru yang menurutnya lebih benar dan sesuai dengan al-Quran dan hadis.
Menurut Imam Muhammad Abu Zahra, pemahaman kalam yang dicetuskan oleh Asyari merupakan suatu upaya untuk menghidupkan kembali metode berpikir yang digunakan oleh Imam Ahmad ibn Hambal. Di mana dengan metode tersebut, secara keseluruhan Asyari mengakui adanya Allah, malaikat dan rasul-Nya, serta apapun yang datang dari sisi Allah dan yang diriwayatkan para perawi terpercaya dari Rasulullah. Kemudian, Asyari juga mengakui bahwa Allah adalah Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, tiada Tuhan melainkan Dia, tidak membutuhkan pendamping tidak beranakdan diperanakkan. Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Surga dan neraka adalah benar. Hari kiamat pasti datang. Allah akan membangkitkan manusia dari kubur  dan Dia bersemanyam di Arasy-Nya.[3]
Metode berpikir aliran Asyariyah dapat diketahui dari pemikiran Asyari bahwa mengetahui Allah (ma’rifah) wajib berdasarkan syarak dan tidak ada kebaikan berdasarkan substansinya, tanpa adanya instruksi dari syarak.[4] Allah Swt. adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak akan terjadi sesuatu apapun di dunia ini jika bukan kehendak Tuhan.

Metode berpikir aliran Salafiyah
Aliran Salafiyah merupakan salah satu aliran kalam yang dimunculkan oleh orang-orang Hanbaliah (4 Hijriah). Kemudian, dilanjutkan kembali oleh Ibnu Taimiyah pada abad ke-7 Hijriah dan diteruskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-12 Hijriah. Aliran salafiyah ini menyerang pada filsuf dengan tuduhan telah memasukkan filsafat Yunani ke dalam ajaran Islam, menyerang al-Ghazali dan para sufi lainya dengan tuduhan telah membuat ibadah-ibadah baru dalam Islam dan memasukkan hadis-hadis palsu, menyerang kaum Muktazilah dengan tuduhan telah mendahulukan akal daripada al-Quran, bahkan aliran salaf ini berani menyerang Umar bin Khatab (Khalifah ke-2) dengan tuduhan telah berbuat salah dan menciptakan bid’ah.[5]
Metode berpikir aliran Salafiah ini dapat diketahui dari berbagai pandangannya bahwa kandungan al-Quran harus dipahami tanpa takwil, tidak boleh dibantah dan disesuaikan dengan akal manusia.[6] Metode berpikir aliran salaf sangat bertentangan dengan metode yang digunakan oleh aliran Muktazilah, Asyariyah dan Maturidiyah. Di mana aliran Salaf ini menginginkan agar pengkajian akidah kembali kepada prinsip-prinsip yang dipegang oleh para sahabat dan tabiin, yaitu mendasari setiap prinsip dan dalil kepada al-Quran dan hadis, serta melarang untuk mempertanyakan dalil-dalil al-Quran dan hadis tersebut.[7]



[1]Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Terj. Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Cet. I (Jakarta: Logos Publising House, 1996), 186-187.
[2]Ibid., 152.
[3]Ibid.,194.
[4]Ibid. 210.
[5]Fauziah Nurdin, Hidayah Menurut Perspektif al-Quran dan Aliran Kalam, Cet. I (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008),64.
[6]Ibid. 65.
[7]Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah …, 226.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar